First and Ever
Aku adalah seorang mahasiswi. I love reading and watching movies much. Film-film kesukaanku film bergenre drama, komedi, dan komedi romantis. Film-film drama itu sukses membuatku tenggelam dalam setiap ceritanya. Bagaimana jika akhir cerita ku memiliki akhir yang sama dengan film itu?
Aku sadar. Sepenuhnya sadar. Atau mungkin akhirnya tersadarkan? Bahwa aku diselimuti ego, obsesi, dan impian kosong. Berharap akan datangnya cinta itu lagi. Berharap keberanian seketika datang hanya untuk mengatakan bahwa aku menyayanginya. Bahwa aku peduli padanya. Bahwa aku mencintainya.
Hhh, muak juga aku akhirnya dengan film drama romantis yang sedang kutonton ini. Karena setiap scene film ini mengembalikan semua episode-episode saat aku bersamanya. Kuputuskan untuk keluar mencari udara segar walaupun jam gadang di ruang tengah sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku sudah terlalu enek dengan kepenatan ini. Kunyalakan swift tercintaku, langsung terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Keyraaaaa! Mau kemana kamu sudah malam begini?” my beloved mom is shouting.
“Nyari cemilan mam!” teriakku dan langsung tancap gas sebelum mami berhasil mengejarku. Maaf mam, Key harus lepasin ini semua.
Aku nggak tau harus kemana. Kunyalakan radio mobil. Lagu dari Michael Bubble berjudul Home ternyata sedang diputar.
“Argh, kenapa harus lagu ini sih??!” kuganti channel radio nya.
Aku suka sekali lagu-lagu lembut. Smooth jazz adalah favoritku dan David Benoit adalah musisi yang membuatku cinta mati dengan smooth jazz. Tapi lagu Michael Bubble adalah kenangan buruk yang saat ini sedang kucoba untuk dibuang. Kenangan manis yang terlalu legit yang membuatku wondering saat itu.
“Kamu tau lagu Everything sama Home punyanya Michael Bubble? You are everything I need and you are my home. Biarpun saya udah pergi kemana-mana dengan orang yang beda-beda, saya pasti kembali lagi ke kamu Key, saya juga nggak tau kenapa. So, please, let me go home whenever it will happen.” Yoga mengatakan itu di malam ulang tahunku setelah menyanyikan lagu-lagu itu dengan permainan gitarnya yang membuatku melting.
Aku dulu adalah gadis SMA yang konyol. Dan terlalu polos untuk mengenal cinta karenanya. Bodoh. Karena bahkan sampai detik ini aku masih ingat setiap detik yang kami lewatkan bersama.
“Key, jalan yuk?” tiba-tiba Yoga sudah ada di depan meja. Padahal bel pulang baru saja berbunyi beberapa detik yang lalu. Aku pun masih mengemasi buku-buku.
“Kemana?” jawab ku singkat. Aku masih belum menoleh kepadanya.
“Jalan yuk Key, temenin Yoga makan. Yoga juga mau ngobrol panjang sama kamu.”
Baru aku mendongak. Wajahnya tepat di depanku. Dengan senyuman termanis dan tatapan hangat matanya, tak kuasa aku pun tersenyum.
“Kenapa? Kok senyum? Mau nggak? Mau ya Key, ya?”
“Nggak liat apa aku lagi beresin buku?”
“Tapi mau kan? Please???” Yoga memberikan lagi senyumannya. Sekarang ditambah matanya mengedip sebelah tanda is sedang memohon dengan sangat. Hhh, mana bisa aku nolak kalau dia senyum seperti itu?!
**
Aku berhenti di warung kaki lima dan memesan roti bakar plus segelas susu coklat hangat. Lalu aku lanjutkan perjalanan yang nggak ada tujuannya ini. Aku menyetir sambil makan dan minum tentunya. Mengabaikan nasihat mami untuk selalu konsentrasi saat menyetir. Tapi semua ini sudah terlanjur. Aku terus menginjak gas.
Aku menyerah membuang paksa semua kenangan ini. Terlalu menyakitkan. Tuhan, kenapa tak Kau berikan saja sakit fisik sekalian? Karena aku sudah lelah selalu berakting di depan semua orang. Kupejamkan mataku, membiarkan semuanya lewat begitu saja tanpa direm.
Yang ini warnanya cerah, sebuah perpaduan warna cerah yang menghasilkan sebuah keindahan yang tak ada duanya.
“Key, kamu punya impian? A surprising question di siang yang panas di satu ruangan kelas kosong. Hanya ada aku dan Yoga.
“Aku…”
Sepasang mata itu menatapku lagi. Dalam. Menuntut jawaban.
“Aku ingin jadi dokter. Aku pengen buat sekolah swasta. Gedungnya ada 4. Setiap gedung memiliki 3 lantai. Gedung pertama untuk science, gedung kedua untuk art, gedung ketiga untuk social. Gedung terakhir, hmm, buat apa ya? Gedung serbaguna aja deh.” “Silly ya? Aku gak puas dengan sistem sekolah di Indonesia yang kaya gini. Nggak mengarahkan pada masa depan yang pasti.” Lanjutku dengan tawa.
“Kalau Yoga mau jadi mekanik.”
“Kenapa nggak jadi pembalap aja? Kamu kan sukses bikin aku nangis waktu dibawa kamu dengan kecepatan 200km/jam.”
“Hahaha, saya masih inget tampang pucet kamu.” Yoga mengacak-acak rambutku. “Kalau mekanik sudah pasti jago balap Key, tapi kalau pembalap belum tentu ngerti mesin.”
**
“Key, let tonight be ours yah?”
Aku bingung. Apa maksud pertanyaan itu? Yoga sepertinya menangkap tanda tanya ku.
“Saya sayang kamu Key. Jadi milik saya malam ini dan seterusnya.”
Film terus berputar sampai pada bagian pita berwarna hitam.
Text : Keeeey! Knp tlp yoga gak diangkat?? Saya mau cerita, hehe J
Reply : iya maaf. Gak kdengeran. Tlp lg aja skr.
“Key, lagi apa? Ganggu nggak?”
“Nggak kok. Kenapa Ga?”
“Saya suka sama Silvi, Key. Dia cantik banget ya? Bantuin saya untuk dapetin dia ya?”
Unbelievable. Bahkan aku nggak sempat nge hang-up handphone. Kaget, tapi nggak sanggup bilang nggak. Tanpa aku sadari, tears are starting drop on my cheek.
Yoga akhirnya bersamanya. Dan kami terpisah angin yang tebal. Kasat mata, namun sangat terasa. Aku rapuh. Senyumannya masih semanis dulu. Namun, ada yang berubah di matanya. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku sangat sadar hal itu. Yoga telah pergi.
Berbulan-bulan berlalu. Kami tidak pernah seperti kami yang dulu lagi. Duduk berdua di kelas kosong, bicara sepanjang siang sampai sore tentang masa depan. Tidak pernah lagi aku temui Yoga yang tiba-tiba ada di depan rumah. Tidak pernah lagi aku mendengar dia memanggilku dengan sebutan ‘sayang’.
Masa SMA telah berakhir. Namun, tidak sekali pun waktu indah itu terulang lagi. Dia bahkan sudah ganti pasangan. Aku terlalu takut. Takut untuk berhadapan dengannya lagi dan aku jatuh. Karena aku sadar, untuk bertahan saja susahnya bukan main. Aku nggak mau semua ini sia-sia hanya dalam beberapa detik, saat mata kami bertemu kembali. Because knowing that there is no more me in his eyes makes me hurt more.
Seperti salah satu tokoh di film yang tadi aku tonton, ia berkata, “Apa yang terjadi di sekolah ini, biarkan saja tetap disini.”
Satu kalimat yang aku baca dari matanya justru di hari paling membahagiakan untuk murid SMA, Graduation Day. Sahabatku pernah bertanya alasan mengapa aku begitu mencintainya. And she got a surprising answer from me:
“I don’t know. One thing I know for sure is I love him but I don’t know why. I just love him just the way he is. Maybe he is my first love.”
Dan sekarang, kami sudah terpisah jarak yang sangat jauh. Beda kota. Beda provinsi. Namun, selalu ada tempat untuknya. No reasons why.
**
Putih semua disini. Mami menangis. Sahabat-sahabat terbaikku menangis. Untuk apa? Aku tidak tahu. Tetapi, ada sesosok tubuh yang dibalut oleh perban dan kabel-kabel. Itu aku. Sudah satu minggu ternyata aku terbaring disitu karena kecelakaan pada malam itu. Karena aku mengabaikan nasihat mami untuk selalu konsentrasi saat menyetir. Dan Tuhan mengabulkan doaku malam itu juga.
But, hey! Ada Yoga disini! Sepertinya sahabat-sahabatku yang memanggilnya. Andai kamu datang lebih awal Yoga…
Hmm, damai rasanya aku rasakan untuk pertama kalinya. Tak ada rasa sakit lagi yang mendera. Semua lepas. Semua hilang. Dan kisah cintaku berakhir disini bersamaan dengan bunyi tut panjang dari sebuah alat di samping ranjangku.
Meeting you was a fate,
becoming your friend was a choice,
but falling in love with you I had no control over.
well, cerpen ini based on true story but it is fiction at all, you got what i mean??
you have to !, hhe
enjoy this
p.s. i love you
0 komentar:
Posting Komentar